Selasa, 03 Januari 2012

pedihnya rasa KEHILANGAN BUNDA TERCINTA

HINGGA hari ini aku masih belum percaya ibu telah meninggal. Keluargaku memang belum pernah kehilangan. Kini aku begitu merindukan ibu. Menyesal belum sempat membuat ibu bahagia.

Kehilangan itu membuatku begitu hampa. Segalanya seolah menjadi tak berjiwa. Aku seakan tak mendengar bunyi apa pun, disaat beliau benar2 telah tiada ini membuatku tersadar betapa aku sangat menyayangi beliau, aku seolah kehilangan pijakan. Kedua kakiku rasanya melayang. Aku seolah meluncur ke dalam lubang yang tak bisa kuhentikan.

Semua kenangan masa kecilku kuingat kembali. Waktu muda dan saat aku masih kecil, ibu begitu cantik. Lembut, meski keras dalam sikap dan cara mendidik tapi saat ini aku menyadari bahwa semua itu untuk kebaikanku. Aku bangga punya ibu seperti ibuku. Masih terngiang perjuangannya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga ku yang waktu itu sempat semrawut, aku beserta adik-adikku banyak membantu beliau jualan kue yang dititipkan ke warung-warung dekat rumah, sepulang sekolah akulah yang sering menagih kewarung-warung uang hasil penjualan hari itu sesekali jika ada sisa kue yang tak laku dan harus di bawa pulang beliau hanya bisa tersenyum walaupun dalam senyumnya beliau bersedih melihat sisa kue tersebut dengan kata-kata yang bijak berliau berkata “inilah nak rezeki kita hari ini”. Semua tugas itu hanya aku yang melakukannya. Entah mengapa ibu tidak pernah menyuruh adik-adikku. Tapi justru itu yang membuat aku dekat dengan ibu. Waktu ibu sakit tepatnya bulan april 2011 beliau divonis jantung oleh dokter aku kasihan sekali sekaligus terkejut. Saat itu aku berniat walaupun harus saya yang berutang ke sana kemari aku rela demi kesembuhan ibu ku. Berusaha sekuat tenaga walau terkadang banyak rintangan yang saya hadapi. Aku ingin membantunya tapi tidak bisa: ibu membutuhkan rupiah yang cukup banyak untuk kesembuhannya waktu itu. Aku tidak pernah acuh pada ibu. Memang kuakui aku tumbuh dengan pikiranku sendiri dan sibuk dengan diriku sendiri. Mungkin ibu berpikir aku seolah tidak peduli. Padahal dalam hati aku selalu sayang ibu. Selalu mengingatnya. Kini ibu sudah tiada. Sudah benar-benar hilang dari keluarganya.

Lain sekali rasanya kematian itu. 15 oktober 2011 merupakan hari yang cukup kelam buatku di saat harus mendengar kabar akan kepergiaannya untuk selamamnya. Dunia terasa runtuh, tubuhku terasa lunglai bagai tak bertulang serasa tak percaya. Padahal malam sebelum beliau di panggil oleh sang kuasa aku masih sempat bercanda dan tertawa dengan beliau. Sampai hari ini masih teringat semua pesan-pesan beliau malam itu. Termasuk dengan nasihat beliau jika kelak aku menikah nanti. Sejam yang lalu ibuku dimasukkan kedalam liang itu, membaringkan tubuh ibu. Meletakkan wajahnya ke dalam lubang yang tepinya digali lagi, membentuk kedalaman sendiri. Lubang yang miring. Entah mengapa saat itu aku teringat sebuah kisah: lubang dalam lubang, yang tadinya aku belum begitu mengerti maknanya. Tapi, menghadapi lubang kubur ibu, serta lubang yang digali lagi dalam lubang kubur ibu, aku jadi benar-benar mengerti kisah itu: lubang cahaya. Ya, kurasakan lubang ibu adalah lubang cahaya. Tempat di mana seorang perempuan yang baik budi semasa hidupnya terkubur di sana. Wajahnya terbenam dalam lubang itu, masuk ke dalam liang yang aku sendiri ikut menggali dan menanam tanah penyangga tubuhnya. Aku juga membukakan tali-tali yang mengikat kepala ibu, tubuh, dan kaki ibu. Kubuka ikatan-ikatan tali itu. Seolah membuka ikatan masa lalu, di mana aku terbenam di dalamnya. Sejenak melintas saat aku menghentak-hentakkan kaki, maju mundur meminta uang pada ibu di jalan. Ibu marah dengan sayang. Wajahnya merajuk lalu tersenyum. Diraihnya tubuhku dan diciumnya kepala dan mukaku. Anakku sayang,anakku sayang, kata ibu. Hanya itulah yang keluar dari mulut ibu. Ia memandangi anaknya. Seolah Tuhan memandangi dunia. Duh, perempuan yang baik hati, kini kau telah pergi. Telah benar-benar meninggalkan kami.

Kini aku hanya memiliki seorang ayah. Aku harap ayahku selalu sehat dan kuat. Tidak sakit-sakitan seperti ibu. Aku sayang sekali dengan ayahku. Ayahlah yang mendidikku dalam banyak hal. Caranya mendidikku luar biasa: aku dibiarkannya melakukan apa saja yang aku suka, tidak pernah melarang. Aku hanya bisa bersedih jika melihat ayahku yang begitu terpukul di tinggalkan oleh istrinya tercinta yang telah menemani hidupnya hampir 30 tahun dalam suka dan duka. Di saat ibu berpulang ayah sedang tidak berada di sampingnya. Di balik goresan wajah ketegaran ayahku tetap tersirat wajah sedih yang mendalam, selebar apapun senyuman yang ayahku berikan kepada kami di pagi hari sebelum kami beraktifitas tetap tegores rasa sedih yang entah sebesar apa, entah sesedih apa, entah entah dan entah hanya ayah dan Tuhan yang tau akan rasa itu. Ayah bagai sepatu yang kehilangan pasangannya, bagaikan kaki kanan yang kehilangan kaki kiri. Dulu ayah pernah memarahiku: ayah begitu marah padaku Aku begitu sedih sampai bebarapa lama. Tercekam dengan amarahnya yang membara. Masih tersisa wajah ayah yang marah. Aku tidak begitu mengerti apa yang membuat ayah sangat marah. Tetapi lelaki tegas dan gagah itu memandangku dengan raut membesi. Jiwaku menggigil melihatnya. Ayah, apa salahku sampai kau marah begitu? Ini anakmu, yang sangat sedih karena bermimpi ayah telah mati. Tapi ayah tetap diam. Wajahnya sukar dilukiskan: terpaku di tempatnya, matanya seakan mengeluarkan api. Membakar tubuh dan jiwaku. Membuat aku putus asa, sedih dan berduka. Ada apa Ayah? Mengapa kau demikian marah padaku? Apakah salah anakmu ini sebegitu parahnya sampai amarahmu sebegitu besarnya padaku?

Ku hanya bisa berharap dan berdoa kepada Allah Azza Wajallah.. sang pemilik alam beserta isinya, sang hidup hamba-hambaNya, kuharap yang kuasa dapat memberikan umur yang panjang kepada ayahku agar kelak kami anak-anaknya bisa secara meaksimal membahagiakan dia. Walaupun sepeninggalan istrinya yang tercinta beliau hanya bisa berpesan banyak-banyaklah mendoakan ibu mu agar ibumu agar ibumu tenang di sisiNya, pesan itu hampir setiap malam terngiang di telinga kami berlima.

(Untuk ibu yang sangat aku sayangi dan untuk ayah yang begitu aku banggakan)

“3/1/2012”

Tidak ada komentar: